Kabar penting datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 29 April 2025, MK mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah beberapa kali direvisi, terakhir melalui UU Nomor 1 Tahun 2024.
Gugatan ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar dengan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024. Dalam gugatannya, Jovi meminta MK untuk mengubah sejumlah pasal yakni pasal 310 KUHP, pasal 45 ayat (7) UU ITE, pasal 45 ayat (2) huruf a UU ITE, pasal 27 ayat (1) UU ITE, Pasal 45 ayat (1) UU ITE, pasal 28 ayat (3) UU ITE hingga pasal 45A ayat (3) UU ITE.
Disaat bersamaan, MK juga mengabulkan gugatan nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Dalam petitumnya, Daniel menggugat pasal 27A UU ITE, Pasal 45 ayat (4) UU ITE, Pasal 28 ayat (2) UU ITE hingga pasal 45A ayat (2) UU ITE.
Apa isi Putusan MK?
Berikut putusan MK terkait Gugatan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
- Menyatakan kata ‘kerusuhan’ dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber’
3. Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang frasa ‘dilakukan demi kepentingan umum’ dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a UU 1/2024 serta frasa ‘melanggar kesusilaan’ dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024 tidak dapat diterima
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
5. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.Dalam pertimbangannya, MK menyebut pembentuk undang-undang sebenarnya telah memberi batasan lewat penjelasan Pasal 28 ayat (3), yakni kerusuhan yang dimaksud ialah kondisi mengganggu ketertiban umum di ruang fisik. MK menyatakan pembatasan dalam pasal itu penting agar penegakan hukum dilakukan secara jelas.
“Hal demikian dimaksudkan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang merupakan delik materiil yang menekankan pada akibat perbuatan atau kerusuhan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta,” ujar MK.
Sementara putusan MK terkait perkara nomor 105/PUU-XXII/2024:
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
- Menyatakan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan’.
- frasa ‘suatu hal’ dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang’
- Menyatakan frasa ‘mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu’ dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan’
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
- Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan harus ada batasan yang jelas terkait pelanggaran yang dapat diproses pidana. MK menyatakan hal itu penting agar penegakan hukum dilakukan secara objektif.
“Norma tersebut berpotensi digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi yang tidak tendensius (netral), bahkan ekspresi yang tidak ditujukan untuk menimbulkan kebencian, apabila akibat kebencian atau permusuhan timbul secara tidak langsung, melalui respons pihak ketiga. Dalam kondisi seperti ini, terdapat potensi kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah, termasuk ekspresi bernuansa kritik, satire, atau ekspresi yang bersifat netral tetapi digunakan oleh orang lain secara keliru. Dengan demikian, untuk memastikan bahwa ketentuan pidana dalam norma a quo digunakan secara proporsional, maka penegakan hukumnya harus dibatasi hanya terhadap informasi elektronik yang secara substansi memuat ajakan, anjuran, atau penyebaran kebencian berdasarkan identitas (advocacy of hatred), yang dilakukan secara sengaja di depan umum, dan secara nyata mengarah kepada bentuk diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan terhadap kelompok yang dilindungi,” ujar MK.
Analisa Hukum atas Putusan MK
- Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE
MK menyatakan frasa “orang lain” dalam pasal ini inkonstitusional bersyarat dan tidak berlaku untuk: Lembaga negara, Korporasi, Profesi, Jabatan.
Makna: Lembaga pemerintah tidak lagi bisa melaporkan pencemaran nama baik, karena yang dilindungi adalah kehormatan pribadi, bukan institusi.
- Pasal 28 ayat (3) jo. Pasal 45A ayat (3)
MK menegaskan bahwa unsur “menimbulkan kerusuhan di masyarakat” harus ditafsirkan secara ketat dan obyektif. Tidak bisa digunakan untuk menjerat seseorang hanya karena opini atau informasi yang dianggap tidak disukai.
Makna: Kriminalisasi hanya bisa dilakukan jika dapat dibuktikan bahwa informasi menyebabkan kerusuhan nyata di masyarakat.
“Putusan MK ini adalah momen penting bagi demokrasi digital di Indonesia. Kami di Red Justicia menyambut baik koreksi terhadap pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE. Sudah saatnya hukum digunakan untuk melindungi, bukan membungkam. Kami siap mendampingi masyarakat agar tetap berani bersuara, namun dengan kesadaran hukum yang kuat.”
— [R. Darda Syahrizal, S.H., M.H.], Direktur Red Justicia Law Firm
Manfaat Revisi UU ITE untuk Masyarakat
Dari putusan MK ini, ada beberapa manfaat yang diperoleh masyarakat diantaranya:
- Ruang berekspresi lebih aman dan demokratis
- Kritik terhadap pejabat/lembaga tak lagi mudah dikriminalisasi
- Penyebaran hoaks tetap dilarang, tapi harus benar-benar terbukti meresahkan
Peringatan: Hindari Tindakan Ini!
Meskipun pasal-pasal direvisi, tetap ada risiko hukum bila:
- Menyebarkan hoaks yang menimbulkan kepanikan/kerusuhan
- Menyerang kehormatan pribadi orang lain secara langsung
- Mengunggah konten fitnah atau manipulasi digital
Revisi ini adalah kemajuan, tapi bukan berarti kebebasan tak berbatas. Warga digital tetap harus kritis, bertanggung jawab, dan melek hukum. Red Justicia Law Firm siap mendampingi masyarakat dan kelompok yang menjadi korban kriminalisasi digital maupun yang ingin memahami hak-haknya.
- Punya masalah hukum terkait kasus ITE?
- Red Justicia Law Firm siap membantu permasalahan hukum anda!
Hubungi kami di:
Website : www.redjusticialawfirm.com
WA/Call : https://wa.me/6281391603536 (Customer Service)
Email : lawfirm.redjusticia@gmail.com
Ikuti kami (Media Sosial):
IG/TikTok : @redjusticia_lawfim
Facebook : @Red Justicia LF
YouTube : @Red Justicia TV
Twitter (X) : @RedJusticia1
Layanan kami hadir di Kota Bekasi, Tangerang dan Cepu-Blora