Perjalanan panjang sistem hukum pidana di Indonesia menghadapi tantangan serius dalam menindak kejahatan terorganisir. Banyak kasus besar seperti korupsi berjemaah, narkotika lintas negara, dan pelanggaran HAM berat sulit dituntaskan karena pelaku utamanya terlindungi oleh struktur kekuasaan atau jaringan yg rapi. Dalam konteks ini, kehadiran Justice Collaborator (JC) menjadi elemen penting untuk membuka simpul kejahatan dari dalam.

Namun, selama ini posisi JC berada di ruang abu-abu. Mereka sering diperlakukan setara dgn pelaku utama, tanpa perlindungan maupun penghargaan yg layak. Kekosongan regulasi menyebabkan keberanian mereka untuk bersaksi tdk mendapatkan kepastian hukum. Padahal, keterangan mereka seringkali menjadi titik terang dalam pembuktian perkara besar.


Terobosan Regulasi: PP Nomor 24 Tahun 2025

Sebagai respons atas kebutuhan hukum yg telah lama dinantikan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2025 sebagai pelaksanaan Pasal 10A UU No. 31 Tahun 2014 ttg Perlindungan Saksi dan Korban. Regulasi ini memberi kerangka hukum yg lebih operasional dalam mengatur:

definisi JC,

tata cara pengajuan dan verifikasi,

bentuk perlindungan dan penghargaan,

serta mekanisme evaluasi antar lembaga.

Fakta: Ketimpangan Perlakuan Hukum Sebelumnya

Beberapa contoh kasus menegaskan pentingnya regulasi ini:

Nazaruddin: mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yg mengungkap jaringan korupsi di tubuh pemerintahan, namun tetap dijatuhi vonis berat tanpa perlindungan maksimal, meskipun kontribusi testimoninya sangat menentukan.

Freddy Budiman: terpidana mati kasus narkotika yg sempat membongkar keterlibatan oknum TNI, Polri, dan BNN dalam jaringan peredaran narkoba. Namun kesaksiannya tdk ditindaklanjuti secara menyeluruh, dan eksekusi tetap dilaksanakan sebelum penyelidikan selesai.

Kasus Sambo: membuka diskursus publik tentang siapa sebenarnya aktor intelektual dan siapa pembuka tabir. Tanpa perlindungan formal bagi saksi pelaku, proses seperti ini rentan manipulasi dan tekanan internal.

Menurut Laporan LPSK 2022, dari 71 permohonan status JC, hanya 18 permohonan yg dikabulkan penuh, dan hanya 5 orang yg mendapatkan perlindungan berkelanjutan. Sisanya tertolak karena alasan formil, politis, atau minimnya keberanian lembaga penegak hukum dalam menindaklanjuti.

Isi Pokok PP 24/2025: Landasan Teknis yg Diperkuat

Beberapa poin substansial dalam PP ini antara lain:

1. Pasal 1–2: Memberikan definisi eksplisit ttg siapa yg dapat menjadi JC serta ruang lingkup kejahatan yg dapat dilaporkan.

2. Pasal 3–4: Menetapkan jenis perlindungan dan penghargaan, termasuk pengurangan pidana, pembebasan bersyarat, serta akses terhadap hak narapidana lainnya.

3. Pasal 5–14: Menjelaskan prosedur pengajuan JC secara administratif dan substantif.

4. Pasal 31–32: Menyusun mekanisme evaluasi dan koordinasi antara LPSK, penyidik, penuntut umum, dan lembaga pemasyarakatan.


Risiko Penyalahgunaan: Perlu Mekanisme Pengawasan

Meski membawa kemajuan, PP ini tetap menyimpan risiko penyalahgunaan:

Manipulasi status JC oleh pelaku utama dgn tujuan memperoleh keringanan hukuman tanpa benar² berkontribusi membongkar kejahatan.

Politik dagang perkara, di mana status JC bisa digunakan sebagai alat tukar demi melindungi pihak tertentu.

Ketimpangan akses, karena hanya pelaku dari kelompok kuat atau yg memiliki kuasa hukum mumpuni yg bisa mengakses proses pengajuan JC.

Verifikasi internal yg lemah, memungkinkan keterangan palsu diterima atau ditolak berdasarkan subjektivitas, bukan obyektivitas fakta hukum.

Oleh karena itu, perlu dibangun sistem pengawasan dan evaluasi publik secara independen.
—–
Pendekatan Filsafat Hukum: Keadilan yg Bersifat Korektif

Dalam pendekatan filsafat hukum progresif, keadilan tdk hanya dipahami sebagai pembalasan (retributif), tetapi juga korektif dan transformasional. Negara bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga membuka ruang bagi mereka yg ingin bertanggung jawab dan memperbaiki kerusakan hukum dan sosial yg mereka timbulkan.

Dalam pendekatan ini, Justice Collaborator adalah alat koreksi sistemik ,bukan pembenaran atas kejahatan, tetapi strategi legal utk menghancurkan struktur kejahatan yg lebih besar.

Sikap Red Justicia

Kami di Red Justicia menyambut baik lahirnya PP 24/2025 sebagai bentuk pemajuan hukum pidana nasional. Namun kami menekankan pentingnya:

Pengawasan partisipatif dari masyarakat sipil, media, dan organisasi profesi.

Sosialisasi aktif oleh aparat penegak hukum dan LPSK di seluruh wilayah hukum Indonesia.

Penjaminan objektivitas proses evaluasi, agar tak ada ruang permainan kekuasaan dalam penentuan status JC.

Keadilan hanya bisa ditegakkan jika sistem membuka ruang bagi kebenaran, bahkan jika kebenaran itu datang dari seorang pelaku.

R. Darda Syahrizal, S.H., M.H.
Advokat & Owner Red Justicia