Pendahuluan

Belakangan ini, dunia musik Indonesia diramaikan dengan polemik hak cipta yang melibatkan dua musisi ternama, Ahmad Dhani dan Ariel Noah. Polemik ini bermula dari perbedaan pandangan mengenai pengelolaan hak cipta, khususnya terkait performing rights dan mekanisme pembayaran royalti. Kasus ini menjadi sorotan publik setelah putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menghukum penyanyi Agnez Mo untuk membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar kepada pencipta lagu Ari Bias karena membawakan lagu ciptaannya dalam konser tanpa izin.

Artikel ini akan menganalisis polemik hak cipta antara Ahmad Dhani dan Ariel Noah dari perspektif hukum, dengan fokus pada aspek privat versus publik dalam Undang-Undang Hak Cipta. Analisis ini akan membedah masalah hukum yang dipersoalkan, mengkaji argumen dari kedua belah pihak, dan menawarkan solusi hukum yang dapat diterapkan.

Latar Belakang Kasus

Polemik ini berawal ketika Nazril Ilham (Ariel Noah) bersama dengan 28 musisi lainnya mengajukan uji materiil terhadap UU Hak Cipta kepada Mahkamah Konstitusi pada 7 Maret 2025. Pengajuan uji materiil tersebut telah terdaftar dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025. Selain Ariel, ada sejumlah artis lain yang terlibat, seperti Armand Maulana, Vina Panduwinata, Titi DJ, Judika, Bunga Citra Lestari, Rossa, dan Raisa.

Di sisi lain, Ahmad Dhani yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) bersama dengan Piyu dari band Padi dan sejumlah musisi lainnya, mendukung sistem direct license yang dianggap lebih menguntungkan pencipta lagu. AKSI menyambut baik putusan pengadilan yang memenangkan Ari Bias dalam kasus melawan Agnez Mo.

Perselisihan kedua musisi ini bermula dari perbedaan pandangan mereka mengenai metode direct license, yang dianggap lebih menguntungkan pencipta lagu dibandingkan sistem yang saat ini berlaku melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Kerangka Hukum: UU Hak Cipta di Indonesia

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta merupakan landasan hukum yang mengatur perlindungan hak cipta di Indonesia. UU ini mengatur berbagai aspek terkait hak cipta, termasuk hak moral dan hak ekonomi pencipta.

Hak Moral dan Hak Ekonomi

Menurut Pasal 4 UU Hak Cipta, hak cipta terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak eksklusif pencipta tersebut timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.

Hak Moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta yang tidak dapat dihilangkan dan dihapus tanpa alasan apapun. Antara pencipta dan ciptaannya ada sifat kemanunggalan atau hubungan integral. Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta menerangkan bahwa hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk:
1. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum
2. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya
3. Mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat
4. Mengubah judul dan anak judul ciptaan
5. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya

Hak Ekonomi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta menerangkan bentuk-bentuk hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta untuk melakukan:
1. Penerbitan ciptaan
2. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya
3. Penerjemahan ciptaan
4. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan
5. Pendistribusian ciptaan atau salinannya
6. Pertunjukan ciptaan
7. Pengumuman ciptaan
8. Komunikasi ciptaan
9. Penyewaan ciptaan

Performing Rights dan Lembaga Manajemen Kolektif

Performing rights (hak pertunjukan) merupakan bagian dari hak ekonomi yang dimiliki pencipta. Dalam UU Hak Cipta, performing rights diatur dalam Pasal 1 angka 6 jo. Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, yang pada prinsipnya pencipta sebagai pelaku pertunjukan secara umum dapat melaksanakan sendiri, memberikan izin atau melarang pihak lain selaku pelaku pertunjukkan untuk menampilkan ciptaannya dalam bentuk live show maupun dalam bentuk rekaman.

Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta jo. Pasal 1 angka 10 PP 56/2021.

Selain LMK, juga terdapat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang merupakan lembaga bantu pemerintah non-APBN yang dibentuk Menteri Hukum dan HAM berdasarkan UU Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.

Analisis Masalah Hukum dalam Polemik Ahmad Dhani vs Ariel Noah

1. Aspek Privat vs Publik dalam UU Hak Cipta

Polemik antara Ahmad Dhani dan Ariel Noah pada dasarnya menyentuh pertanyaan fundamental tentang sifat hak cipta: apakah hak cipta merupakan hak yang murni bersifat privat atau juga memiliki dimensi publik yang perlu diatur oleh negara?

Ahmad Dhani dan AKSI cenderung memandang hak cipta sebagai hak privat yang sepenuhnya berada di tangan pencipta. Mereka berpendapat bahwa pencipta lagu seharusnya memiliki kendali penuh atas izin penggunaan karya mereka, termasuk melalui mekanisme direct license. Pandangan ini menekankan aspek privat dari hak cipta, di mana pencipta memiliki hak eksklusif untuk menentukan siapa yang boleh menggunakan karyanya dan dengan syarat apa.

Sementara itu, Ariel Noah dan VISI memandang bahwa meskipun hak cipta pada dasarnya adalah hak privat, pengaturannya memiliki dimensi publik yang penting. Mereka berpendapat bahwa sistem LMK yang diatur oleh negara diperlukan untuk memastikan keseimbangan antara kepentingan pencipta dan kepentingan publik, termasuk penyanyi dan pelaku pertunjukan.

2. Perbedaan Pandangan tentang Direct License vs LMK

Ahmad Dhani mendukung sistem direct license, di mana pencipta lagu bisa langsung memberikan izin kepada siapa pun yang ingin membawakan lagunya tanpa melalui perantara. Menurutnya, sistem ini lebih transparan dan menguntungkan bagi para pencipta lagu. Dhani berpendapat bahwa sistem LMK yang ada saat ini masih memiliki banyak kekurangan dan sering merugikan pencipta lagu.

Sebaliknya, Ariel Noah menekankan perbaikan terhadap LMK adalah solusi yang lebih tepat dibandingkan dengan menghapus sistem tersebut. Sebagai vokalis, Ariel mempercayakan pengelolaan hak performing rights kepada LMK. Dia menilai penerapan sistem direct license harus didasarkan pada kesepakatan awal antara penyanyi dan pencipta lagu, bukan diterapkan secara sepihak.

3. Lima Poin Uji Materiil yang Diajukan Ariel Noah dkk

Ariel Noah dan rekan-rekannya mengajukan lima poin uji materiil terhadap UU Hak Cipta:

1. Poin pertama berkaitan dengan Pasal 9 Ayat 3 UU Hak Cipta, di mana mereka meminta pasal tersebut dinyatakan konstitusional dengan syarat bahwa penggunaan komersial suatu ciptaan dalam pertunjukan tidak memerlukan izin dari pencipta, tetapi tetap mewajibkan pembayaran royalti.

2. Poin kedua, mereka meminta agar frasa “setiap orang” dalam Pasal 23 Ayat 5 dapat dimaknai sebagai individu atau badan hukum penyelenggara acara pertunjukan. Dengan demikian, kewajiban membayar royalti bisa disesuaikan dengan kesepakatan antara pihak terkait, serta memungkinkan pembayaran royalti dilakukan sebelum atau sesudah pertunjukan.

3. Poin ketiga, mereka meminta MK menyatakan bahwa Pasal 81 UU Hak Cipta dapat dimaknai bahwa karya yang memiliki hak cipta dan digunakan secara komersial dalam pertunjukan tidak memerlukan lisensi dari pencipta, asalkan tetap membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

4. Poin keempat, mereka menyoroti Pasal 87 Ayat 1 yang dianggap inkonstitusional jika tidak memberikan mekanisme lain bagi pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait untuk memungut royalti secara non-kolektif atau secara diskriminatif.

5. Poin kelima, mereka meminta MK menyatakan bahwa ketentuan huruf f dalam Pasal 113 Ayat 2 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Kesimpulan Hukum

Berdasarkan analisis terhadap polemik hak cipta antara Ahmad Dhani dan Ariel Noah, dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Dualisme Sifat Hak Cipta: Hak cipta memiliki dualisme sifat, yaitu sebagai hak privat yang melekat pada pencipta, namun juga memiliki dimensi publik yang perlu diatur oleh negara untuk menjamin keseimbangan kepentingan.

2. Ketegangan antara Hak Pencipta dan Hak Pelaku Pertunjukan: Terdapat ketegangan antara hak pencipta lagu yang ingin memiliki kendali penuh atas karyanya (direct license) dan hak pelaku pertunjukan yang menginginkan kemudahan akses untuk membawakan lagu dengan tetap menghormati hak ekonomi pencipta melalui pembayaran royalti (sistem LMK).

3. Kebutuhan akan Keseimbangan: UU Hak Cipta perlu menyeimbangkan perlindungan terhadap hak eksklusif pencipta dengan kepentingan publik, termasuk kepentingan pelaku pertunjukan dan industri musik secara keseluruhan.

4. Aspek Privat vs Publik: Meskipun hak cipta pada dasarnya adalah hak privat, pengaturannya memiliki dimensi publik yang penting untuk memastikan perlindungan hak semua pihak dan kemajuan industri kreatif.

Solusi Hukum

Untuk mengatasi polemik hak cipta antara Ahmad Dhani dan Ariel Noah, beberapa solusi hukum dapat dipertimbangkan:

1. Reformasi Sistem LMK: Memperbaiki sistem LMK yang ada untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan dan distribusi royalti. Ini dapat mencakup audit berkala, pelaporan publik, dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat.

2. Sistem Hybrid: Mengembangkan sistem hybrid yang mengakomodasi baik direct license maupun LMK, di mana pencipta dapat memilih metode yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Pencipta dapat memilih untuk mengelola sendiri hak ciptanya melalui direct license atau mendelegasikannya kepada LMK.

3. Perjanjian Standar: Mengembangkan perjanjian standar antara pencipta lagu dan penyanyi yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak secara jelas, termasuk mekanisme pembayaran royalti dan persyaratan pertunjukan.

4. Mediasi dan Arbitrase: Membentuk mekanisme mediasi dan arbitrase khusus untuk menyelesaikan sengketa hak cipta di industri musik, sehingga konflik dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang.

5. Edukasi dan Sosialisasi: Meningkatkan pemahaman semua pemangku kepentingan tentang hak cipta, termasuk pencipta lagu, penyanyi, promotor acara, dan masyarakat umum, melalui program edukasi dan sosialisasi yang komprehensif.

Penutup

Polemik hak cipta antara Ahmad Dhani dan Ariel Noah mencerminkan kompleksitas pengaturan hak cipta di Indonesia, khususnya terkait dengan keseimbangan antara aspek privat dan publik. Meskipun hak cipta pada dasarnya adalah hak privat yang melekat pada pencipta, pengaturannya memiliki dimensi publik yang penting untuk memastikan perlindungan hak semua pihak dan kemajuan industri kreatif.

Solusi terhadap polemik ini memerlukan pendekatan yang komprehensif dan seimbang, yang mengakomodasi kepentingan semua pihak sambil tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip perlindungan hak cipta. Dengan demikian, diharapkan industri musik Indonesia dapat terus berkembang dengan harmonis, di mana pencipta lagu mendapatkan penghargaan yang layak atas karya mereka dan penyanyi dapat membawakan lagu-lagu tersebut dengan tetap menghormati hak pencipta.

Referensi

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
2. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta dan Hak Terkait Lagu dan/atau Musik
3. BBC News Indonesia. (2025, Maret 14). UU Hak Cipta: Musisi Indonesia terpecah menjadi dua kubu, bagaimana duduk perkaranya?
4. Hukumonline. (2024, Agustus 29). Haruskah Penyanyi Izin ke Pencipta Lagu untuk Perform?
5. Merdeka.com. (2025, Maret 28). Perdebatan Ahmad Dhani Vs Ariel NOAH Soal Hak Cipta dan Royalti Musik Kian Memanas di Media Sosial
6. Pojoksatu.id. (2025, Maret 25). Ahmad Dhani vs Ariel NOAH: Polemik Hak Cipta, Royalti Lagu, dan Sistem LMK